Sabtu, 27 Februari 2010

hak remaja atas kesehatan reproduksi

Hak Remaja atas Kesehatan Reproduksi













Hak Remaja atas Kesehatan Reproduksi



DI Indonesia, kelompok yang rentan terhadap pengabaian hak-hak kesehatan reproduksi adalah remaja. Mereka adalah korban diam, yang seringkali dihakimi secara tidak adil. Padahal usia remaja adalah usia di mana organ reproduksi rentan terhadap infeksi saluran reproduksi, kehamilan, dan penggunaan obat-obatan. Tetapi, di mana mereka mendapat hak atas informasi, hak atas pemberdayaan, hak atas pelayanan kesehatan reproduksi, jika mereka membutuhkan kejelasan, atau bahkan menderita infeksi, hamil, mengalami pelecehan dan atau kekerasan seksual?

Jika menghitung kuantitas penduduk remaja, jumlahnya tidak dapat diremehkan. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, jumlah dan persentase penduduk Indonesia golongan usia 10-24 tahun (definisi WHO untuk young people) adalah 64 juta atau sekitar 31 persen dari total seluruh populasi, sedangkan khusus untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk adolescence), berjumlah 44 juta atau 21 persen.

Aset yang potensial ini bukanlah prioritas indikator kesehatan yang penting bagi pemerintah, karena tidak satu pun program pemerintah yang memiliki daya penegakan terukur dalam mencapai target kuantitas dan kualitas kesehatan reproduksi remaja

Jadi, walaupun Departemen Kesehatan telah membuat visi tentang Pola Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja pada tahun 1993, dengan indikator keluaran berupa angka kehamilan remaja, angka kematian bayi dari remaja akibat kehamilan di luar nikah, angka kematian remaja akibat hamil di luar nikah, angka kejadian abortus remaja dan angka kejadian penyakit menular seksual (PMS) remaja di fasilitas kesehatan; semua angka-angka ini tidak tampak di dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, yang diterbitkan Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2001. Bagaimana hendak membuat program yang terintegrasi, jika pemerintah belum menyatakan "ini penting" demi mencapai kualitas sumber daya manusia Indonesia yang utuh?

Hak dasar remaja

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melakukan penelitian persepsi seks bebas dan kesehatan reproduksi remaja SMU se-DKI Jakarta pada bulan Maret-Mei 2002. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive random, berdasarkan lima wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini melibatkan 500 responden dengan usia responden 15-19 tahun, terdiri dari 59 persen pria dan 41 persen perempuan. Karakteristik responden terbesar adalah usia 17 tahun (36 persen), kelas 3 (50,6 persen), berasal dari SMU swasta (65 persen) dan uang jajan lebih dari
Rp 150.000/bulan sebesar 62 persen.

Dari hasil penelitian, diketahui 37 persen responden wanita tidak mengetahui fungsi organ reproduksi pria, 36 persen responden pria tidak mengetahui fungsi organ reproduksi wanita, dan sebesar 34 persen tidak mengetahui apa itu penyakit menular seksual (PMS). Sedangkan sumber informasi seks yang utama bagi remaja SMU ini adalah TV dan majalah (39 persen).

Sementara itu, informasi yang paling diinginkan remaja SMU tersebut adalah informasi mengenai PMS, termasuk HIV/ AIDS kemudian baru mengenai struktur biologis organ reproduksi. Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa perilaku seksual responden yang pernah melakukan sanggama sebesar 4,2 persen, dengan wilayah terbesar di Jakarta Timur, yaitu sebesar tujuh persen. Angka yang cukup kecil ini terjadi karena 50 persen dari siswa SMU swasta yang men-
jadi responden adalah SMU yang bercorak agama.

Selain itu, ketika YLKI melakukan kampanye ke sekolah mengenai kesehatan reproduksi, memanfaatkan Masa Orientasi Sekolah (MOS) murid baru SMU pada bulan Juli 2002, terdapat lima peserta MOS yang pernah mengalami hamil di luar nikah dan empat peserta yang telah pernah menggugurkan kandungannya (aborsi), tanpa sepengetahuan sekolah.

Dalam acara kampanye YLKI yang memberi informasi mengenai reproduksi sehat dan & PMS tersebut juga terungkap kehausan peserta akan informasi dan kebutuhan konseling. Hanya ada seorang peserta yang mengungkapkan informasi yang diberikan sangat bermanfaat, tetapi dia berkomentar, "Saya masih merasa tabu mengetahuinya."

Pemenuhan hak

Hasil kuesioner ringkas peserta MOS setelah acara kampanye tersebut juga membuat tiga prioritas pemenuhan kebutuhan remaja SMU tersebut, yaitu adanya tempat konseling masalah kesehatan reproduksi di sekolah melalui guru BP dan OSIS, adanya pelayanan kesehatan reproduksi remaja di jasa pelayanan kesehatan yang terjangkau remaja, serta masuknya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah.

Hal ini sejalan dengan komitmen yang dibuat pemerintah pada International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo tahun 1994, antara lain pemenuhan kebutuhan remaja melalui program yang tepat termasuk pendidikan dan konseling, perlindungan remaja terhadap kekerasan, hubungan seksual yang aman, pelayanan KB, kesehatan reproduksi, PMS, prevensi HIV/AIDS, program prevensi dan perawatan pelecehan seksual remaja. Tetapi sayang, pemenuhan komitmen ini tidak berjalan sistematis dan menyeluruh, mengingat belum ada kebijakan yang memiliki daya penegakan hukum dan pelaksanaan yang terukur untuk mengintegrasikan hak remaja dalam memperoleh informasi, konseling,dan pelayanan kesehatan reproduksi.

Selain itu, komitmen ini seharusnya tidak hanya melibatkan Departemen Kesehatan, tetapi juga Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pelibatan Depdiknas penting artinya, karena dengan masuknya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah, remaja mendapat akses yang terprogram secara bertahap dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga dengan masuknya metode pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan guru, akan sangat penting artinya untuk mendapatkan guru yang benar-benar bisa memahami dan menyampaikan informasi seksual dan kesehatan reproduksi kepada remaja.

Sedangkan untuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja, Indonesia Sehat tahun 2010 memiliki target menurunkan prevalensi permasalahan remaja secara umum termasuk anemia pada remaja, dan target agar remaja mendapat akses pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah.

Jika target ini hendak dipenuhi, tentu segala mekanisme pelaksanaan dan persiapan lintas sektoral perlu segera dilakukan. Jangan sampai target ini hanya menjadi hiasan semata, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Termasuk juga ketika korban remaja terus bertambah; diam-diam, tanpa terukur, tanpa terperhatikan karena instrumen pengukuran dan perlindungan legalnya saja tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar